Rabu, 28 Mei 2008

Gender dan Legitimasi Agama

Seperti sudah jadi tradisi, setiap bulan April (baru saja berlalu), kiprah perempuan kembali dibicarakan. Diskursus tentang jender pun muncul sebagai bagian dari gerakan feminisme. Gerakan ini bukanlah gerakan baru, telah tumbuh sejak abad ke-19. Namun tidak terhimpun dalam satu wadah perjuangan. Salah satu yang paling menonjol adalah gerakan Pembebasan Wanita atau Women’s Liberation (Women’s Lib) yang berpusat di Amerika Serikat, dan menunjukkan aksi-aksinya pada abad ke-20.

Tahun 1975 gender, development, dan equality sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City. Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB menetapkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. United Nations Development Program (UNDP) melalui laporan berkalanya “Human Development Report” (HDR), telah memperkenalkan sebuah indikator baru dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu negara yaitu indikator pembangunan manusia (Human Development Index atau HDI). Konsep HDI mencakup tiga pengukuran aspek usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (Infant Mortality Rate) dan kecukupan pangan (Food Security).Pada tahun 1995, konsep HDI diberi tambahan lagi, yaitu konsep kesetaraan gender (equality gender). Konsep kesetaraan gender makin dikuatkan dengan adanya adanya ratifikasi berbagai konvensi internasional yang memuat isu kesetaraan gender. Konvensi tersebut diantaranya Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Hak Politik Perempuan) tahun 1952 , Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW) tahun 1979, Convention on the Rights of Child (Konvensi Hak Anak). Konvensi lain yang juga diikuti wakil
Indonesia, International Conference on Population and Development (Konvensi Kependudukan dan Pembangunan/ICPD) tahun 1994, Beijing Declaration and Platform For Action (Deklarasi Beijing/BPFA) tahun 1995 dan Millenium Development Goals ( Tujuan Pembangunan Milinium/MDGs) tahun 2001. Teologi Kaum FeminisTeologi feminis tampaknya dipengaruhi mahzab teologi pembebasan yang dikembangkan oleh James Cone pada akhir tahun 1960-an. Teologi pembebasan memakai paradigma yang sama dengan feminisme sosialis, namun pendekatannya lebih menonjolkan perubahan pemahaman keagamaan.Namun tujuan keduanya sama, yaitu perubahan struktural agar keadilan gender, dan keadilan sosial seterusnya, dapat tercipta. Teologi feminisme ini berkembang dalam berbagai agama seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Menurut para feminis, agama-agama tersebut sering ditafsirkan dengan memakai ideologi patriat yang menyudutkan perempuan.Para teologi feminis yang berkembang dalam Islam adalah mereka yang mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat dan hadis yang berkenaan dengan perempuan. Tujuannya adalah membantah penafsiran dan fiqh mapan yang dianggap bisa merugikan perempuan.Beberapa penafsiran fiqih perempuan yang dilontarkan antara lain; perempuan boleh menjadi imam shalat jamaah umum, menjadi khatib, menjadi muazdin dan akad nikah tanpa wali. Aturan-aturan Islam mapan pun digugat seperti pembagian harta warisan perempuan setengah dari pria, kesaksian seorang pria disetarakan dengan dua orang perempuan, poligami, kepala rumah tangga, dan pemimpin negara di tangan laki-laki. Kemunculan gerakan feminisme yang menginginkan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki sampai kaum feminis rela menggugat ajaran agamanya, diilhami nasib perempuan sekarang. Para feminis kemudian menganalisa bahwa penderitaan yang dialami perempuan selama ini akibat budaya patriarki sehingga perlu adanya perombakan konstruksi sosial dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin tidak mengakibatkan peran dan perilaku gender dalam tatanan sosial. Oleh karena itu, semua jenis pekerjaan perempuan harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Satu sisi konsep kesetaraan gender ini dibantah oleh feminis aliran lain yang mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap kontruksi konsep gender dalam kehidupan sosial. Dalam aktvitasnya, para feminis seringkali mem-blow up fakta-fakta perempuan tertindas seperti istri poligami yang dizalimi, Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dianiaya majikan, perempuan yang diperkosa, dilecehkan, direndahkan versi pemahaman mereka. Jarang sekali suara-suara feminis yang mengangkat figur TKW yang sukses di negeri orang, para suami takut yang takut terhadap istrinya yang macho, para wanita yang membuat anak-anaknya terlantar atau membunuhnya, perempuan yang kumpul kebo menderita, para WTS yang merana tanpa masa depan pasti, kasus pembunuhan PRT yang dilakukan oleh majikan perempuan. Hal ini bisa dimengerti, karena kalau figur-figur ini diangkat, maka gambaran perempuan sebagai “budak”, kaum tertindas, lemah, atau kaum yang perlu di berdayakan, yang semuanya ini dapat membangkitkan rasa “kemarahan” para perempuan, tidak akan tercapai. SekularistikSeorang feminis bernama Alice Rossi, yang awalnya sangat menentang adanya perbedaan peran gender antarjenis kelamin, ternyata telah mengubah pandangannya. Sebelumnya ia berpendapat, stereotip gender bukan karena nature, melainkan karena adanya sosialisasi. Ia kemudian menulis perbedaan peran gender bukan karena fakta sosialisasi, melainkan bersumber dari keragaman antarseks, yang mempunyai tujuan fundamental untuk kelangsungan hidup spesies manusia. Allah SWT menciptakan manusia baik laki-laki dan perempuan dengan bentuk biologis dan peran yang berbeda.Perbedaan jenis kelamin adalah hal yang nature, tak bisa diubah bagaimana pun caranya dan berefek pada peran manusia dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin ini sengaja diciptakan Allah demi kelangsungan hidup spesies manusia itu sendiri. Ide feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan. Para feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada berdasarkan analisa akal dan metode logika semata. Bukannya memberikan solusi namun menimbulkan persoalan baru. Adapun para feminis Muslim penganut teologi feminist yang mencoba membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil Al Quran dan Hadis, sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai tumpuan ide feminisme. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah mengambil asumsi-asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari ayat atau hadits untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang dianut secara fanatik, maka ayat atau hadits itu harus diubah maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender.
Ketika mereka mendapatkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan konsep tersebut, poligami atau ketidakbolehan perempuan menjadi penguasa, para feminis Muslim lalu menta`wilkan –tepatnya : memperkosa– ayat atau hadits tersebut agar sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, agar harkat martabat perempuan mulia, maka tiada jalan lain kita kembali pada aturan kehidupan Sang Pencipta manusia khususnya perempuan yang paling tahu mana yang terbaik bagi umat-Nya. [Aris Solikhah, penulis penggiat di Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen ProSa)]


Senin, 26 Mei 2008

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN" HADITS PALSU

Ustadz tolong jelaskan status hadits "hubbul wathon minal iman" (cinta tanah air sebagian dari iman)? (Ismail, Tangerang, 081-696-3841)

JAWAB :

Ungkapan "hubbul wathon minal iman" memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.

Namun sayang, sebenarnya ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.

Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :

1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :

1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);

2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);

3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).

Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits "hubbul wathon minal iman".

Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits "hubbul wathon minal iman" adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.

Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.

Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.

Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :

1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;

2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;

3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.

(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)

Ringkasnya, ungkapan "hubbul wathon minal iman" adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).

Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan "hubbul wathon minal iman" sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

"Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka." (Hadits Mutawatir).

Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.

Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan Allah ini telah dekat kepada kita semua. Amin. [ ]

14 Agustus 2006

Muhammad Shiddiq


Kebangkitan

Momentum seabad kebangkitan Indonesia dirayakan dimana-mana. Bahkan pada tingkat nasional dibuat perhelatan kolosal untuk merayakan seabad kebangkitan itu dengan melibatkan ribuan pemain. Di tengah gegap-gempitanya perayaan itu, terdapat pertanyaan besar, ”Benarkah Indonesia sudah bangkit?”

Realitas Kebangkitan

Individu yang bangkit dapat dilihat dari perilakunya. Perilaku individu itu ditentukan oleh pemikiran yang ia yakini. Jika pemikirannya rendah maka individu itu pun akan menjadi individu yang rendah. Sebaliknya, ketika pemikiran yang diemban dan diyakini individu itu tinggi, maka ia akan menjelma menjadi individu yang bangkit. Artinya, bangkit-tidaknya individu itu sebenarnya ditentukan oleh tinggi-rendahnya pemikiran yang ia emban dan ia yakini.

Hal yang sama berlaku juga pada masyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan individu yang di dalamnya terdapat interaksi yang terus-menerus. Interaksi terus-menerus itulah yang menjadikan kumpulan individu menjadi sebuah masyarakat. Interaksi itu terjadi karena adanya kemaslahatan yang sama, yang ditentukan oleh adanya kesamaan pemikiran dan perasaan atas kemaslahatan itu. Ketika pemikiran yang diemban dan diyakini oleh masyarakat itu tinggi, maka masyarakat itu akan bangkit. Sebaliknya, jika pemikiran yang diemban dan diyakini masyarakat itu rendah, mereka pun menjelma menjadi masyarakat yang rendah.

Dengan demikian, kebangkitan itu identik dengan kemajuan dan ketinggian taraf pemikiran (al-irtifâ’ al-fikri). Pemikiran yang tinggi, yang akan mewujudkan kebangkitan, tentu bukan sembarang pemikiran. Ia adalah pemikiran tentang pandangan hidup dan apa yang terkait dengannya.

Kemajuan pemikiran mencerminkan terjadinya transformasi dari aspek hewani ke aspek manusiawi. Pemikiran yang berkaitan dengan upaya memperoleh makanan, misalnya, hanyalah pemikiran instingtif (naluriah) dan rendah. Sebaliknya, pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan upaya memperoleh makanan adalah pemikiran yang lebih tinggi. Pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan urusan suatu kaum adalah lebih tinggi daripada yang berkaitan dengan pengaturan urusan keluarga. Namun, pemikiran yang tertinggi adalah pemikiran tentang pengaturan urusan manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai individu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan kebangkitan.

Kebangkitan Ideologis

Pengaturan urusan manusia ditentukan dan didasarkan pada pemikiran mendasar tentang hakikat hidup dan kehidupan, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Dengan kata lain, pengaturan urusan manusia itu didasarkan akidah, pandangan hidup atau ideologi. Dengan demikian, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar ideologi, yaitu akidah yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia. Tingginya taraf perekonomian dan tingginya akhlak tidak akan melahirkan kebangkitan hakiki, melainkan kebangkitan semu.

Barat bangkit karena ideologinya, yaitu Sekularisme-Kapitalisme. Uni Soviet, sebelum bubar, bangkit karena ideologinya, yaitu Sosialisme-Komunisme. Umat Islam pun dulu bangkit karena ideologinya, yaitu Islam. Sebaliknya, Indonesia yang mengklaim bukan negara sekular dan bukan pula negara agama (Islam) tidak pernah bangkit. Ini wajar saja. Sebabnya, landasan kebangkitannya tidak ideologis. Akibatnya, ekonomi amblas, dikuasai oleh segelintir orang dan pihak asing. Akidah umat Islam tidak terjaga. Pihak-pihak yang merusak dan mengacak-acak Islam malah dilindungi dan dilestarikan. Dalam masalah Ahmadiyah saja Pemerintah tidak tegas dan dengan mudah diintervensi oleh pihak luar.

Pada saat yang sama, generasi Indonesia sedang menuju jurang kehancuran dengan pergaulan bebas, narkoba, dan lain-lain. Di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya, 50% remaja usia 15-24 tahun mengaku pernah berhubungan seks sejak usia 13-18 tahun; 35% mengaku mengenal seks dari film porno; yang lainnya dari buku, majalah, VCD, teman, dll. BNN menyebutkan, pada 2007 ada 3,2 juta pengguna narkoba; 1,1 juta di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa. Ada 8000 siswa SD kena narkoba dengan usia mulai 7 tahun. Pihak asing bebas berkeliaran di Indonesia, seperti dalam kasus Namru 2.

Lebih dari itu, di antara fakta yang terlihat jelas di negeri ini adalah adanya rasa rendah diri dan sangat sering memandang apa yang datang dari Barat sebagai maju, ideal, baik dan menyelamatkan. Apapun konsep, ide, gaya hidup yang berasal dari Barat begitu saja diterima dan diikuti. Berbagai fakta tersebut dan yang lainnya menandakan ciri-ciri bangsa yang sakit; bangsa yang membebek dan pengikut.

Perlu Upaya

Perubahan menjadi umat yang bangkit tidak turun begitu saja dari langit. Kita harus berusaha mengubah kondisi buruk menjadi baik, mengubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu sendiri merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (HR ar-Ra’d [13]: 11).

Burhanuddin al-Biqa’i dalam Nadm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyâti wa as-Suwar menafsirkan ayat di atas, “Sesungguhnya Allah, Zat Yang Maha Meliputi segala hal dan memiliki segala kesempurnaan, tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, baik atau buruk, hingga mereka sendiri mengubah keadaan yang ada pada diri mereka, dengan cara menghiasi diri dengan amal salih dan meninggalkan akhlak orang mufsid (merusak). Jika mereka mengubah hal itu maka Allah akan mengubah apa yang ada pada mereka meski mereka sangat kuat.”

Menuju Kebangkitan yang Sahih

Kebangkitan yang sahih adalah kebangkitan yang didasarkan pada akidah yang sahih. Itulah kebangkitan yang didasarkan pada akidah Islam sebagai satu-satunya akidah yang sahih. Sebaliknya, kebangkitan yang salah adalah kebangkitan yang didasarkan pada akidah yang juga salah. Contohnya, kebangkitan Barat yang didasarkan pada Sekularisme, atau kebangkitan Sovyet dengan Komunisme.

Ideologi yang ada di dunia ini hanya ada 3 (tiga): (1) Sekularisme-Kapitalisme; (2) Sosialisme-Komunisme; (3) Islam. Dalam hal ini, kebangkitan hakiki adalah kebangkitan atas dasar pemikiran (fikrah). Islamlah satu-satunya fikrah yang sahih, yang didasarkan pada ruh, yang mengakui keberadaan Allah dengan segala kewenangan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, kebangkitan atas dasar Islamlah satu-satunya kebangkitan yang sahih. Sebabnya, Islam disandarkan pada asas (akidah) yang mustahil memiliki kekurangan dan kesalahan.

Adapun metode untuk mewujudkan kebangkitan adalah dengan membangun pemerintahan berlandaskan pemikiran (fikrah), bukan UU, sistem dan hukum. Inilah satu-satunya cara untuk meraih kebangkitan. Inggris, Prancis, Amerika dan lain-lain benar-benar bangkit karena dibangun berdasarkan fikrah, yaitu Sekularisme. Membangun pemerintahan dengan UU, sistem dan hukum tidak akan pernah melahirkan kebangkitan. Kasus Turki dengan Revolusi Kemalis (1924), Mesir dengan Kudeta Perwira (1952), Libya dengan Kudeta Kadafi, dan sebagainya menunjukkan hal itu. Jadi, hukum asal dalam kebangkitan bukanlah mengambil kekuasaan, melainkan menghimpun umat berlandaskan fikrah, yaitu syariah Islam. Itu artinya, pemerintahan itu dibangun berlandaskan kekuatan umat yang telah mengemban ideologi Islam.

Untuk itu, langkah paling awal, seluruh konsepsi syariah yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan—akidah, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan, sanksi hukum, hukum pembuktian, politik luar negeri, dsb—harus dirumuskan dan disiapkan dengan matang dan mendalam. Di sinilah Hizbut Tahrir telah melakukan peran itu.

Ketika konsepsi syariah itu telah siap, agar umat berhasil dihimpun berlandaskan konsepsi itu, maka harus ada orang-orang yang secara terorganisasi melakukan kontak dinamis dengan umat untuk mensosialisasikan fikrah (konsepsi syariah) kepada mereka.

Umat Islam adalah kumpulan manusia yang diikat oleh akidah Islam, baik sipil, militer, birokrat, rakyat, santri, abangan, modern, tradisionalis, dsb. Kepada mereka inilah fikrah di atas disosialisasikan. Sosialisasi itu harus dilakukan secara berpengaruh sehingga fikrah tersebut menjadi fikrah mereka. Setelah itu, akan muncul kesadaran ideologis dalam diri mereka akan urgensi dan wajibnya fikrah (konsepsi syariah) tersebut diwujudkan pada tataran real.

Seiring dengan sosialisasi itu, wajib diupayakan agar umat Islam yang menginginkan kebangkitan itu memiliki kesadaran politik. Dengan begitu mereka tahu ancaman terhadap Islam, umat, negara, masyarakat dan diri mereka.

Setelah mayoritas komponen umat Islam menerima dan mendukung, maka dukungan politik terhadap fikrah tersebut akan menguat. Dukungan politik yang kuat terhadap fikrah inilah yang akan menjadi sarana paling efektif untuk mewujudkan kebangkitan yang hakiki dan benar. Itulah kebangkitan Islam.

Selanjutnya terjadilah perubahan dengan pondasi fikrah yang kokoh, yaitu syariah Islam. Itulah perubahan yang dicontohkan Nabi saw. Beliau membangun pemerintahan Islam di Madinah berlandaskan akidah Islam (Lâ ilâha illa Allâh Muhammad Rasûlullâh) dan sistem yang terpancar darinya. Jadi, kebangkitan Indonesia adalah menghimpun umat Islam di Indonesia dengan fikrah (syariah) Islam, mengarahkan hidup mereka pada fikrah (syariah) Islam, dan membangun pemerintahan berdasarkan fikrah (syariah) Islam tersebut.

Wahai Kaum Muslim:

Indonesia adalah negeri Muslim terbesar baik dari sisi luas daerah, penduduk, kekayaan, dan lain-lain. Umat Islam di Indonesia mempunyai tanggung jawab terbesar terhadap umat Islam di dunia. Kebangkitan Indonesia harus menjadi lokomotif kebangkitan umat Islam dunia. Kita ingin Indonesia menjadi negara besar dan kuat, bebas dari penjajahan dan menjadi pemimpin dunia yang mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia sejatinya menjadi pelaku utama dalam membangkitkan Indonesia. Ini adalah rumah kita!

Momentum sekarang ini sangat pas kita jadikan momentum untuk membulatkan tekad guna berjuang sekuat tenaga mewujudkan kebangkitan umat Islam. Hanya satu jalan untuk itu, yaitu dengan mengemban dan menerapkan akidah Islam dan sistem yang terpancar darinya dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Umat Islam khususnya dan umat manusia sedunia umumnya sejatinya tengah menunggu peran kita. Wallâhu a’lam bi ash-shawab. []